Selasa, 26 Juli 2016

Yakin Pertolongan Allah

 Red: Damanhuri Zuhri 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nawawi

Modal utama para Nabi dan Rasul dalam menjalankan amanah dakwah adalah keyakinan yang utuh dan menyeluruh bahwa dirinya akan ditolong Allah Ta'ala. Sebagai bukti kita bisa belajar dari apa yang dialami oleh Nabi Yusuf AS.

Sejak kecil beliau telah menghadapi cobaan hidup luar biasa. Beliau didengki saudaranya sendiri, bahkan dibuang ke dalam sumur hingga akhirnya dijual ke Mesir, difitnah hingga dipenjara. Jika mau didata, Nabi Yusuf tidak pernah mengalami masa hidup kecuali selalu dalam kesulitan demi kesulitan.

Tetapi, Nabi Yusuf memiliki satu keyakinan bahwa Allah pasti menolongnya. Dan, karena itu, komitmen dalam kebenaran menjadi pilihan hidup yang tak pernah tergoyahkan, meski ia harus menghadapi penderitaan. "Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku" (QS. Yusuf [12]: 33).

Ibnu Katsir menjelaskan Nabi Yusuf lebih memilih dipenjara daripada melakukan perbuatan keji (kemesuman). Dan, pilihan demikian itu tidak mungkin terucap kecuali oleh jiwa yang seutuhnya yakin dengan pertolongan Allah. 
Sumur Nabi Yusuf (Ilustrasi)

Ungkapan lain yang penuh keberanian dalam hal keyakinan akan pertolongan Allah ini disampaikan Nabi Nuh AS kepada kaumnya. "Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku." (QS Yunus [11]: 71).

Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat mereka memiliki keyakinan utuh-menyeluruh terhadap pertolongan Allah? Ada dua hal yang bisa kita ambil hikmah dari kisah Nabi Yusuf dan Nabi Nuh AS. Pertama, niat yang suci murni dan cita-cita besar bagi kemaslahatan umat manusia. Kedua, tidak ada ketergantungan diri melainkan kepada Allah SWT.

Dengan kata lain ada independensi mental. Hal ini terbukti dari ungkapannya, “Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)." (QS Yunus [10]: 72).

Dengan demikian, selama niat hidup kita adalah suci murni, ikhlas ingin mengharap ridha Allah, kemudian tidak kita pikirkan melainkan maslahat kehidupan umat manusia, yang justru dengan itu semua kesempitan, kesulitan dan ketidaknyamanan hidup terasa terus menghampiri, jangan pernah bingung apalagi putus asa.

Maju terus dan kobarkan semangat independensi mental dalam diri atas dasar iman. Insya Allah akan tiba pertolongan-Nya. Dan, bagaimana keyakinan akan pertolongan-Nya akan Allah abaikan sementara terhadap prasangka baik saja Allah langsung jawab. “Aku (Allah) sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” (HR Bukhari Muslim).

Kisah Hudzaifah, Sang Penjaga Rahasia


Hudzaifah senantiasa mendampingi Rasulullah SAW.


REPUBLIKA.CO.ID, Namanya Hudzaifah bin al-Yaman, terkenal dengan julukan Shahibu Sirri Rasulillah (penjaga rahasia yang dipercaya oleh Rasulullah). Orangnya sangat disiplin dan teguh memegang rahasia. Siapa pun tidak akan bisa membujuk atau memaksanya untuk membuka rahasia.

Salah satu problem besar yang dihadapi oleh umat Islam di Madinah adalah keberadaan kaummunafiqin, yang secara sengaja menyebarkan isu-isu yang tidak benar terhadap Nabi dan kaum Muslimin. Mereka suka membuat intrik-intrik dan tipu muslihat yang menyulitkan kaum Muslimin.  
Rasulullah SAW tahu siapa saja mereka dan siapa tokoh-tokohnya, tetapi beliau tidak bisa mengumumkannya karena sehari-hari mereka menampilkan diri sebaimana orang-orang beriman lainnya, bahkan juga datang shalat berjamaah di masjid bersama Nabi-kecuali shalat Subuh dan Isya yang berat bagi mereka melakukannya. 
 Nabi memberikan daftar nama-nama kaum munafiqin kepada Hudzaifah dan memintanya untuk merahasiakannya kepada siapa pun. Hudzaifah juga ditugasi mengawasi gerak-gerik dan kegiatan mereka untuk mencegah bahaya yang mungkin akan mereka timpakan kepada kaum Muslimin. Rahasia itu dipegang sangat erat oleh Hudzaifah sampai Rasulullah SAW wafat. 
Tatkala menjabat khalifah, Umar bin Khathab pernah bertanya kepada Hudzaifah apakah ada pegawainya yang munafik. Hudzaifah menjawab, ada satu orang, tapi dia tidak mau menyebutkan namanya. "Maaf wahai Amirul Mukminin, saya dilarang Rasulullah mengatakannya."

Hudzaifah bukanlah berasal dari Yaman walaupun bapaknya bernama al-Yaman. Bapaknya orang Makkah, dari Bani 'Abbas. Oleh karena suatu utang darah dari kaumnya, al-Yaman terpaksa menyingkir ke Yatsrib-yang kemudian bernama Madinah. Di Yatsrib, al-Yaman berlindung dan bersumpah setia pada Bani 'Abd Asyhal, sampai kemudian menikah dengan perempuan dari suku tersebut. Dari perkawinan itulah lahir Hudzaifah. Walaupun sering bolak-balik ke Makkah, al-Yaman lebih banyak menetap di Madinah. 
Dengan latar belakang orang tua seperti itu, tatkala pertama kali bertemu dengan Nabi di Makkah-sebelum beliau hijrah-Hudzaifah menanyakan apakah dia termasuk Muhajirin atau Anshar. Nabi menjawab: "Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan, jika ingin digologkan kepada Anshar, engkau memang seorang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai." Sekalipun kedua-duanya disayangi oleh Rasulullah, ternyata Hudzaifah memilih digolongkan kepada Anshar. 
Kedua orang tua Hudzaifah sudah masuk Islam sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Dan, Hudzaifah pun sudah masuk Islam sebelum bertemu dengan Nabi. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau, turut bersama Nabi dalam seluruh peperangan kecuali Perang Badar. Dalam Perang Khandaq, Hudzaifah mendapatkan tugas yang sangat berat dari Nabi. Tugas yang hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang cerdas, tangggap, dan berdisiplin tinggi. 
Pada malam gelap gulita, Hudzaifah ditugaskan oleh Nabi masuk ke jantung pertahanan musuh, mengintai gerak-gerik mereka. "Hai Hudzaifah," kata Nabi. "Sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali melapor kepadaku."
Hudzaifah sukses menjalankan tugas itu. Dia bahkan bisa berada sangat dekan dengan Abu Sufyan, panglima perang musuh. Kata Hudzaifah: "Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku." Demikianlah sekelumit tentang Hudzaifah bin al-Yaman RA, sang penjaga rahasia. 
Sumber : Pusat Data Republika

 

Puisi

Sungguh, cinta sejati tak lahir dalam kejapan,
Ia lahir bukan oleh paksaan,
Sungguh, cinta sejati berjalan lambat dan pelan,
Ia berjalan dalam paduan panjang dan pancangan tiang,
Cinta sejati lahir kerna mantapnya niat, teguhnya tujuan,
Cinta sejati tak kan sirna dan pudar ikatan.

Lihatlah! Bagaimana yang tumbuh cepat,
Ia segera tumbang dan sekarat,
Lihatlah! Aku ini tanah gersang,
Tak gampang bagi tanaman tumbuh berkembang,
Tapi sekali tanaman bertahan, ia tak gampang tumbang,
Atau dirobohkan, karna akarnya kuat mencengkam

- Ibnu Hazm El-Andalusy

Kisah Pemuda dan Sebuah Apel


Rep: Afriza Hanifa/ Red: Achmad Syalaby

 

REPUBLIKA.CO.ID, Dikisahkan, beberapa abad lalu di masa akhir era Tabi’in, hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh luar biasa. Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di sana. Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu.

Dalam kondisi yang lapar, Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa diduga di saat yang tepat. Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisiknya dalam hati. 
Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata Tsabit menyesal. 
Ia  kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang sudah digigitnya itu. Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air. 
Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu. 
Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.” 
Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridaan pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang telah jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu. “Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya. Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak.” Penasaran dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Saya tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” pria tua itu menjawab. 
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas. “Kau harus menikahi putriku,” kata pemilik kebun yang mengagetkan Tsabit. Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit. “Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanya Tsabit tak percaya. 
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan  memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.
Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena mengigit sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain.
Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel. “Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.
Malam hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar pengantin wanita dengan langkah yang berat. Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit. Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh. 

Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.
“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit. 
“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum. 
“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran. 
“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,” kata si gadis.
“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli,” lanjut Tsabit. 
“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya terdapat rida Allah,” jawab gadis cantik itu. 
“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh,” pertanyaan terakhir Tsabit. 
“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah murkai,” ujar si gadis membuat Tsabit begitu terpesona. 
Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur. Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu hingga jelas kehalalannya.
Melihat kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu, menikahkannya dengan putrinya yang shalihah. Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah. Bersama istrinya yang shalihah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam besar dari empat madzab.