Red: Damanhuri Zuhri
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nawawi
Modal utama
para Nabi dan Rasul dalam menjalankan amanah dakwah adalah keyakinan
yang utuh dan menyeluruh bahwa dirinya akan ditolong Allah Ta'ala.
Sebagai bukti kita bisa belajar dari apa yang dialami oleh Nabi Yusuf
AS.
Sejak kecil beliau telah menghadapi cobaan hidup luar biasa.
Beliau didengki saudaranya sendiri, bahkan dibuang ke dalam sumur
hingga akhirnya dijual ke Mesir, difitnah hingga dipenjara. Jika mau
didata, Nabi Yusuf tidak pernah mengalami masa hidup kecuali selalu
dalam kesulitan demi kesulitan.
Tetapi, Nabi Yusuf memiliki satu
keyakinan bahwa Allah pasti menolongnya. Dan, karena itu, komitmen
dalam kebenaran menjadi pilihan hidup yang tak pernah tergoyahkan, meski
ia harus menghadapi penderitaan. "Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku" (QS. Yusuf [12]: 33).
Ibnu
Katsir menjelaskan Nabi Yusuf lebih memilih dipenjara daripada
melakukan perbuatan keji (kemesuman). Dan, pilihan demikian itu tidak
mungkin terucap kecuali oleh jiwa yang seutuhnya yakin dengan
pertolongan Allah.
Ungkapan lain yang penuh keberanian dalam hal keyakinan akan pertolongan Allah ini disampaikan Nabi Nuh AS kepada kaumnya. "Dan
bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia
berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal
(bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka
kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian
janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku,
dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku." (QS Yunus [11]: 71).
Pertanyaannya
kemudian, apa yang membuat mereka memiliki keyakinan utuh-menyeluruh
terhadap pertolongan Allah? Ada dua hal yang bisa kita ambil hikmah dari
kisah Nabi Yusuf dan Nabi Nuh AS. Pertama, niat yang suci murni dan
cita-cita besar bagi kemaslahatan umat manusia. Kedua, tidak ada
ketergantungan diri melainkan kepada Allah SWT.
Dengan kata lain ada independensi mental. Hal ini terbukti dari ungkapannya, “Jika
kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun
dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku
disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepada-Nya)." (QS Yunus [10]: 72).
Dengan demikian, selama
niat hidup kita adalah suci murni, ikhlas ingin mengharap ridha Allah,
kemudian tidak kita pikirkan melainkan maslahat kehidupan umat manusia,
yang justru dengan itu semua kesempitan, kesulitan dan ketidaknyamanan
hidup terasa terus menghampiri, jangan pernah bingung apalagi putus asa.
Maju terus dan kobarkan semangat independensi mental dalam diri atas dasar iman. Insya Allah
akan tiba pertolongan-Nya. Dan, bagaimana keyakinan akan
pertolongan-Nya akan Allah abaikan sementara terhadap prasangka baik
saja Allah langsung jawab. “Aku (Allah) sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” (HR Bukhari Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar